Opening............
Di malam lalu bersamaan dengan turunnya hujan, saya mengukuhkan tekad untuk mengukirkan kisah nyata pribadi yang penuh ‘warna hitam’. Kisah yang cukup rumit untuk disebarluaskan dan berat untuk disampaikan kepada seluruh pihak. Mengapa? Disebabkan kisah ini menyangkut hal-hal lumrah di tengah masyarakat, telah tersebar merata di mata mereka.
Kisah ini pula melukiskan ‘kebodohan’ saya di masa lampau, masa yang bermula dan bermuara dari bangku SMP dan berakhir di masa SMA. Kebodohan ini, juga banyak orang tertipu dengannya, baik dari gejolak rayuan intonasi, maupun liriknya. Dialah musik.
Kemudian, sekitar 3 tahun setelahnya, Alloh memberikan hidayah dan taufiq untuk berlepas diri dari kebodohan itu. Hidayah itu sungguh sangat berbekas di hati, membersihkan kekotoran jiwa yang bergelimang hitam.
Itulah kisah saya: ‘Dari Gitar ke Masjid’. Kisah ini saya tulis dengan sebuah pena bertinta minim di waktu hujan rintik-rintik. Lalu saya berdo’a sebagaimana tuntunan Nabi Muhammad –Shollallohu ‘Alaihi Wasallam- tatkala mendengar hujan: “Allohumma Inni Soyyiban Nafi a”
Kisah yang tertulis dalam rangka mengingatkan kepada seluruh umat manusia akan pentingnya berilmu sebelum beramal dan ini dikuatkan oleh Imam panutan kita yaitu Imam Al-Bukhori. Ulama yang buta di masa kecilnya, tetapi berkat do’a dari ibunya maka matanya yang buta dapat melihat. Kemudian juga beliau keliling dunia untuk mencari ilmu, menghafal ratusan ribu hadits, karyanya menjadi rujukan utama setelah Al Qur’an. Beliau berkata bahwa ‘berilmu sebelum beramal.
Tentunya, ilmu yang dimaksud adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maksudnya, bahwa semua tindak-tanduk kita harus diketahui kecocokannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, bila terdapat keserarsian, maka bisa kita ikuti, akan tetapi bila terjadi diskriminasi atau kejanggalan terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka dengan penuh rasa takwa hendaknya kita tinggalkan perbuatan itu. Dengan sebab itu, maka seluruh manusia akan selamat di dunia, di alam barzakh (kubur), dan di akhirat kelak. Juga akan menjadi tameng sehingga mengokohkan jiwa-jiwa kita. Laksana benteng kokoh yang siap menghadapi lawan. Menjadi filter terhadap semua asumsi-asumsi yang tidak jelas.
Pembaca yang budiman,
Hemat saya, bahwa agama kita telah sempurna, makna kesempurnaan telah dikukuhkan di dalam Al-Qur’an, Alloh berfirman:
Al-Maidah:3, artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Salah satu dari kesempurnaan itu ialah manusia hendaknya saling memberi nasihat, ibu ke anak, anak ke orang tua, seseorang memberikan nasihat kepada sahabatnya, ataupun dalam bentuk yang lain. Hal ini merupakan salah satu perintah yang diterangkan oleh Rosululloh. Karena itulah, saya bertekad kuat untuk menulis buku ini dalam bentuk kisah nyata saya dalam rangka menasihati diri saya pribadi dan kepada seluruh umat manusia, khususnya kaum muslimin.
Akhirul Kalam
Wassalamu ‘Alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.
Lokasi tempat bimbel di Jln. Landak Lama dan kendaraan yang bisa berlalu-lalang hanya berada pada satu jalur. Saya ikut bimbel tentu mengingat waktu UAN sudah di depan mata. Sehingga dengan dukungan dari orang tua, maka saya terdaftar sebagai salah seorang peserta bimbel tersebut.
Aktivitas itu, tentu memberikan kontribusi besar dan begitu luar biasa. Bayangkan saja, setelah pulang sekolah, saya kadang langsung ke lokasi bimbel. Kebetulahn pada waktu itu, lokasi bimbel bisa ditempuh sekitar 20 menit dari sekolah saya. Jam bimbel dimulai pada pukul 02.00 siang. Jadi, setelah pulang sekolah pukul 01.00 siang, langsung ke sana. Waktu bimbel dalam sepekan 3x. Program lain dari bimbel itu setiap 2 bulan sekali diadakan try out dan dirangkaikan dengan beberapa perlombaan. Mengapa saya harus bimbel di tempat itu, bukan memilih bimbel di dekat sekolah? Ini memiliki sejarah panjang dan sangat hitam.
Motivasi saya memilih tempat itu adalah karena seorang gadis jelita yang cantik. Wajahnya yang putih tampak kemerahan akibat proses refleksi dari sinar matahari. Kecantikannya begitu mempesona. Gadis itu seolah-olah memberikan sesuatu yang memukau tanpa disadari. Tapi, sayang seribu sayang dia tidak berjilbab. Saya bertemu dia atas sebuah kendaraan umum, di Kota Makassar kendaraan itu disebut dengan ‘Pete-Pete’, ada bermacam-maca kode kendaraan umum di kota ini. Mulai dari A, B, C, D, E, dll. Kode kendaraan umum yang saya tunggangi pada saat itu adalah A. Menunjukkan lintasnya dari Minasa Upa ke Sentral atau Sentral ke Minasa Upa.
Di atas mobil berwarna biru, saya duduk tegap di atas tempat duduk, sembari melihat penumpang yang satu ini. Begitu saya menatapnya, saya membayangkan menatap bidadari dunia. Hatiku bergetar hebat. Inilah untuk pertama kalinya saya melihat sosok wanita yang mempesona. Sungguh syaiton sangat kuat godaannya pada saat itu ….
Padalah Alloh berfirman:
Surah AN-Nur: 30, artinya: ”Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".
Gadis inilah yang memulai merusak dan merobek relung-relung kehidupanku. Syahwat bergelora dan syubhat menyambar-nyambar hatiku. Sungguh syahwat dan syubhat telah memberikan pengaruh negatif.
Seketika itu, setelah menatapnya, maka saya mengambil pena dan kertas untuk menulis biodata dalam rangka memperkenalkan diri lewat bahasa tersurat. Saya termasuk pemalu, sehingga tidak berani mengungkapkan secara langsung untuk berkenalan dengannya.
Tulisan pada kertas itu mencantumkan nama, alasan ingin berkenalan dan nomor HP Paman.
Pada waktu itu, saya belum memiliki HP, sehingga cukup mencantumkan nomor Paman, kebetulan beliau tinggal dekat rumah.
Pembaca yang budiman, harapan saya adalah agar gadis itu merespon keinginan saya, yaitu dapat berkenalan.
Apakah dia akan merespon, lewat telepon, maupun SMS.
Kemudian, saya memasukkan kertas tadi ke dalam tasnya. Saya dari awal mengambil posisi dibelakangnya, sehingga mudah meletakkan kertas itu.
Padahal Rosululloh menjelaskan tidak bolehnya berdekatan dengan bukan muhrim.
Saya sungguh sangat bodoh tidak mengindahkan pesan Nabi, tetapi justru ikut dengan mandat syaiton.
Dengan suara yang lirih dan gerakan diam-diam, saya mendekati tasnya dan membuka resletin tas itu. Setelah terbuka, langsung saya masukkan kertas tadi dan kembali ke belakang menjauh dari dia. Saya takut dia mengetahuinya.
Selang beberapa hari, ternyata betul, ia memerikan respon berupa SMS. Paman saya menginformasikan bahwa ada nomor baru yang SMS-nya ingin berkenalan.
Inilah awal perjalanan gelap dimulai.
Saya berkenalan, bertemu dengannya.
Nah, salah satu faktor mengapa saya memilih tempat bimbel di Jln. Landak Lama tadi, ialah karena dia. Dia ternyata juga bimbel di jalan itu. Saya mengikuti gerak-langkahnya.
Tempat bimbel itu menjadi mediator bagiku dan dengannya.
Suatu ketika, di ruang istirahat bimbel, saya melihat ia sedang duduk di kursi yang panjang alias sofa. Sofa yang berwarna merah dan di atasnya terdapat gadis yang jelita sedang memegang gitar, sembari memainkannya. Lagu yang ia mainkan memberikan dampak luar biasa, bayangkan saja, sampai-sampai ia bergoyang dengan menggelengkan kepala dan kaki yang menghentak-hentak lantai. Seketika itu, muncul rasa minder dalam diri saya, seolah-olah berkata dalam hati: “Gadis ini saja bisa main gitar, mengapa saya tidak bisa ya, saya kan seorang lelaki?” Ini merupakan semprotan kalimat syaiton kepada saya.
Maka dengan tubuh yang tegap, saya berpikir untuk menguatkan tekad untuk berlatih bermain gitar, meskipun saya harus mencari guru yang jauh. Motivasi yang sungguh ‘luar biadab’, bukan luar biasa. Saya tidak bisa berpikir, mengapa godaan syaiton begitu kuat pengaruhnya. Sungguh benar firman Alloh:
Al-Baqoroh:169, artinya. “Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.”
Akhirnya, saya mencari guru gitar dan akhirnya saya bertemu teman ‘berambut hitam’, bersuku bugis’.
Termasuk salah seorang siswa di SMP saya dan dia teman sekelas saya. Dia bernama Husni, tepatnya Husni Tamrin. Saya merayunya untuk melatih saya bermain gitar, meskipun harus ke rumahnya di Jln. Toddoppuli.
Bersambung …………