Keluh kesah seorang sahabat yang saat ini belajar di
negeri Belanda sungguh sangat bagus sekali untuk kita pikirkan & kita
renungkan oleh karenanya saya sangat ingin sekali mengajak anda semua untuk
membacanya dan meresapi maknanya.
UntuK :Bapak S yang sangat saya hormati
Di manapun anda berada sekarang.
Pak S yang baik hati, bapak adalah orang yang pertama kali membuat saya
tertarik pada sejarah. Saya teringat bagaimana bapak selalu menggambarkan peta
(yang disederhanakan) untuk mengingatkan kami murid-murid tentang daerah mana
yang sedang kami bicarakan.
Saya teringat bagaimana bapak menerangkan tentang perang dunia, tentang politik
etis, dan juga tentang bagaimana kejadian di suatu negara bisa berpengaruh di
negara lain.
Maafkan saya bapak, saya sebenarnya hanya mengingat sepotong-potong. Dan
sayangnya di masa pendidikan saya yang selanjutnya saya berhenti belajar
sejarah. Hanya sedikit sekali mempelajarinya. Saya menyesal.
Sekarang saya berkesempatan belajar di negeri seberang. Dan terkadang, sejarah
merupakan sesuatu yang sering dipertanyajan, bahkan saat sedang berbincang
santai saat makan malam bersama teman-teman. Saya bisa menjawab sebatas yang
saya tahu. Sedikit sekali.
Saya terpana waktu teman dari berbagai belahan negara berbincang-bincang
seperti:
"Waktu tahun segini..... ini yang terjadi di sini...."
"Ah saya tahu, negaramu kan sedang....., saat itu banyak yang pindah ke
negara saya."
Bapak S guru sejarah saya yang saya hormati, betapa menyesal saya tak banyak
belajar sejarah. Seorang teman saya yang sedang belajar hukum di negara
seberang lainnya, pernah berkata pada saya:
"Saat kita sedang berada di luar negeri, orang-orang tidak akan menanyakan
apa yang kita tahu tentang negara mereka (negara lain). Mereka akan bertanya
apa yang kita ketahui tentang negara kita sendiri."
Pendapat teman saya benar sekali Pak. Saat saya sedang melanglang buana seperti
ini, pertanyaan-pertanyaan tentang Indonesialah yang selalu ditanyakan pada
saya. Kadang hal-hal sederhana, seperti, "Berapa jumlah penduduk di
negaramu?" Saya suka lupa, saya ingat kita negara terpadat ke-4 di dunia.
Untuk data detailnya saya biasanya ngintip Wikipedia.
Satu hal yang mencengangkan saya di sini,
adalah saat saya belajar tentang negara-negara berkembang lainnya. Saya juga
belajar bagaimana suatu "kekuatan besar" mengendalikan negara-negara
dunia ketiga. Bukan saja dalam hal ekonomi, tapi juga pendidikan.
"Dunia global" sedang memaksa negara-egara berkembang untuk memajukan
pendidikan. "Pendidikan untuk semua", begitu katanya. Tak ada yang
salah untuk pendidikan untuk semua. Kenapa tidak? Tapi pendidikan semua seperti
apa? Itu pertanyaan besarnya.
Saya sempat membca sebuah jurnal tentang suatu negara berkembang di benua lain
(bukan asia). Di sana diceritakan bagaimana "standardized test"
dipaksakan oleh sebuah lembaga besar agar negara tersebut bisa mendapat
pinjaman dana. Negara berkembang harus meningkatkan kemampuan dalam numeracy
dan literasi (bahasa). Begitu katanya. Soal kreativitas? Eits nanti dulu....
Pak S, guru sejarah saya yang lekat di hati saya.
Sungguh bukan masalah bila ada pendidikan gratis bagi semua. Kenapa tidak?
Indonesia kaya akan putra-putri yang pandai berhitung dan membaca? Kenapa tidak?
Tapi apa yang saya pelajari hari-hari ini mengingatkan saya akan pelajaran
bapak beberapa tahun yang lalu. Saya ingat sekali. Ya, POLITIK ETIS!
Walau saya tidak ingat tahunnya, Bapak pernah bercerita bahwa Belanda pernah
mau mendidik bangsa Indonesia karena punya kebutuhan. Mereka butuh juru ketik
dan tulis.
Saya sempat terpikir bahwa apa yang terjadi hari ini pun bentuk modern dari
politik etis. Ini bukan fakta, masih perkiraan saya saja. Pikiran akan politik
etis modern ini berkali-kali mengelisahkan saya.
Kalau anak-anak Indonesia hanya pandai berhitung, bukan pandai berlogika, untuk
apa?
Kalau anak-anak hanya bisa membaca, tanpa memahami makna, untuk apa?
Sebagai seorang yang pernah mengajar dan belajar matematika, saya mulai
bertanya-tanya untuk apa murid-murid kita dipaksa "berhitung yang
sulit-suit?" Kalkulus, limit, (Segala materi SMA). Mesti hafal rumus, bisa
menghitung tapi pemahaman tak dibangun tak mengapa. Untuk apa?
Sekali lagi Pak S, saya kembali ingat apa yang bapak ajarkan dahulu, beberapa
tahun yang lalu.
P O L I T I K E T I S
Apabila kita hanya bisa berhitung tanpa berlogika dan membaca tanpa memahami,
tanpa memaknai, maka...
Kita belajar untuk kepentingan siapa?
Ada yang butuh kita.... tanpa logika kita
Ada yang butuh kita.... tanpa pemahaman kita
Ada yang butuh kita... tanpa kesadaran kita
Ada yang butuh kita... tanpa kreativitas kita
Bapak S, saat saya memulai surat ini, tak saya sangka akan jadi sepanjang ini.
Ini hanya sebuah kegelisahan saya yang sempat menganggu pikiran saya.
Satu hal yang saya ingat juga, dari apa yang pernah bapak ajarkan pada saya.
Bapak pernah berkata, dari politik etis di zaman Belanda, walau diawali
tujuan-tujuan untuk kepentingan Kompeni, tetaplah lahir kalangan-kalangan
terpelajar. Beberapa diantara mereka, turut memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia, dan juga berperan dalam membangun bangsa. Diam-diam saya menaruh
harap, apabila benar perkiraan saya, bahwa apa yang terjadi hari ini merupakan
"politik etis modern", mudah-mudahan muncul 'pemikir-pemikir besar
untuk bangsa' lainnya.
Hormat dari muridmu yang sedikit bandel dulu
DPS
Para orang tua dan guru yang saya cintai dimanapun anda berada, Mari kita
renungkan..mari kita lakukan sesuatu untuk Indonesia yang lebih baik dari apa
saja yang mungkin dan dari apa saja yang kita bisa.
Sumber
ayah edy
0 comments to “Letter from My Friend”