Subscribe RSS

Sesungguhnya ilmu adalah agama, maka lihatlah

dari siapa kalian mengambil agama kalian.

(Ibnu Sirin)

Masih segar dalam ingatan kita, kisah-kisah indah pada saat mendapat nasihat agama. Tentunya memberikan dampak yang luar biasa. Hati yang keruh menjadi bersih, hati yang rusak berubah menjadi hati bening. Semuanya itu tersalurkan akibat seorang yang kita anggap “bergizi” dalam agama. Adalah penceramah, dia menyumbangkan hasil kaji agamanya telah merubah paradigma keberagamaan masyarakat. Sehingga pencermah betul-betul konsisten dalam berdakwah. Dan masyarakat harus menimba ilmu lebih banyak lagi.

Akan tetapi, fenomena belakangan ini, terjadi silang pendapat. Dari mana sebaiknya menimba ilmu? Sebab sudah banyak yang berpendapat! Katakanlah, fenomena ustas dan ustadz juga patut ditelusuri keberadaannya. Satu pihak memberikan pencerahan. Di pihak lain mengeruhkan keberagamaan seseorang. Karena itulah, apa sih defenisi 2 insan itu? Dan apa tujuan mereka?

“Ustas” sebuah kata yang mencakup makna luas dan mendasar, akhiran “s.” Anak-anak kecil sering memanggil orang dewasa yang ke masjid dengan sapaan ringan ini, “Pak Ustas.. Pak Ustas!” Sebagai orang berpenampilan agamis. Dia hanya menampilakan fisik agamis, tapi hakikatnya ada tendensi tertentu melakukan hal demikian.

Lain pula dengan Ustadz.

“Ustadz” secara etimologi dan leksikal bersal dari bahasa Parsi yang, sebagaimana sejumlah kata lainnya, mengalamai arabisasi dengan pengubahan “s” menjadi “dz” bagian akhir hurufnya. Secara etimologi adalah atribut yang disandang oleh seseorang yang memiliki kualifikasi maksimum dalam mengajarkan sbidang ilmu agama.

Secara populer “ustadz” “merupakan simbol kompetensi intelektual (akademis). Mereka adalah orang-orang berilmu agama sesuai fakta di lapangan.

Dalam bahasa Arab orang tersebut dinamakan Ulama.

Ibnu Juraij –rahimahullah- berkata, “Barangsiapa yang mengenal Allah, maka dia adalah orang alim.” (Jami’ Bayan Ilmu wa Fadhlih, hal. 2/49)

Dilihat dari defenisi di atas, tentu harus ada pembeda antara para Ustadz dan Ustas. Secara umum ada 5:

  1. Ustadz adalah orang-orang yang tidak menginginkan kedudukan, dan membenci segala bentuk pujian serta tidak menyombongkan diri atas seorang pun.

Al-Hasan (ulama Timur) mengatakan: “Orang faqih (paham agama) adalah orang yang zuhud terhadap dunia dan cinta kepada akhirat, bashirah (berilmu) tentang agamanya dan senantiasa dalam beribadah kepada Rabbnya.”

Hal demikian kontroversi dengan ustas, mereka justru berkebalikan. Lihat saja di lingkungan sekitar. Pasti terdapat banyak ustas, dia berlomba-lomba mencari kedudukan, ingin dipuji, dan sombong terhadap orang-orang disekitarnya. Semuanya terlaksana dengan “kostum” agamis untuk menipu masyarakat.

  1. Ustadz yaitu orang tidak berharap kepada dunia, tetapi cinta kepada akhirat, bashirah (berilmu) tentang agamanya dan senantiasa dalam beribadah kepada Rabbnya. Berbeda lagi ustas, mereka justru sangat kontroversi, dia cinta dunia dan tidak berharap akhirat. Bayangkan saja, ibadahnya dilaksanakan tatkala “pejabat-pejabat” memantaunya. Tapi, ketika bersendirian, laksana bunglon. Berubah warnalah dia, tidak beribadah lagi.
  2. Ustadz yakni orang yang tidak mengaku-aku berilmu, tidak bangga dengan ilmunya atas seorang pun, dan tidak serampangan menghukumi orang yang jahil sebagai orang yang menyelisihi As-Sunnah. Sungguh luar biasa ustadz ini, bagaimana dengan ustas? Mereka riya dengan ilmu (pamer) ilmu agamanya.
  3. Ustadz adalah orang-orang yang memiliki keahlian melakukan istinbath (mengambil hukum) dan memahaminya.

Sebagaimana firman Allah, artinya, “Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalau mereka menyerahkan kepada rasul dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang mampu mengambil hukum (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri). Kalau tidak dengan karunia dan rahmat dari Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikuti syaithan kecuali sedikit saja.” (QS. An-Nisa: 83)

Sementara ustas, secara spontanitas “seenaknya” mengambil hukum sendiri. Mereka tidak bercermin kepada dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ditambahkan lagi, dia sendiri tidak paham tentang keputusannya itu.

  1. Ustadz adalah orang-orang yang tunduk dan khusyu’ dalam merealisasikan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bagaimanakah dengan ustas? Dengan kepala di atas, malah dia melanggar perintah Allah, melaksanakan larangan Allah.


Karena itulah, ustadz bukan lagi simbol intelektualisme yang berbasis pada penguasaan agama. Melainkan ustadzlah yang memilikinya. Masyarakat Indonesia harus pandai dan cermat dalam mengambil ilmu agama sebagaimana perkataan Ibnu Sirin di atas.Ustas ini pandai memainkan perasaan, mengeksploitasi emosionalitas hadirin, terutama kaum ibu metropolitan mudah digoncangkan.

Mari kita renungkan kembali, kepada siapa mesti menimba ilmu yang kemudian akan diamalkan. Apalah artinya paham agama, tapi hakikatnya ilmu “ustas” yang semberono menyiasati hukum-hukum Islam. Ustas tidak takut lagi kepada Allah Sang Pencipta dan Pengatur Semesta Alam ini.

Padahal jika mereka mau, maka dengarkan firman Allah, artinya:

“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah adalah ulama (ustadz).” (QS. Fathir: 28)

Category: | 0 Comments

0 comments to “DENGAR USTAS ATAU USTADZ?”

Note: only a member of this blog may post a comment.