Sebelumya maaf kepada pihak-pihak yang tersinggung atas adanya esai ini. Esai ini hanya sebagai media untuk berbagi pengalaman dan menambah wawasan kepada anda-anda semua. Terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu saya untuk berfikir seperti ini, seperti kedua orang tua saya, Ayah Edi, Kak Munas, Kak Abi, Kak Boy dan Kak Dimas. dan Nendra (walaupun kita belum bertemu, saya sudah sangat terinspirasi dengan anda dengan membaca notes dan cerita dari Kak Abi).Note: nama-nama tersebut adalah para tutor Home Schooling Red.
Di suatu lembaga formal yang bernama sekolah, kita sering dikekang oleh sistem pendidikan dan teks buku pelajaran yang mengkotak-kotakkan suatu disiplin ilmu pengetahuan dari pihak yang mengatur pendidikan negeri ini. Mereka lalu menekan kepala sekolah, kepala sekolah menekan guru, dan akhirnya guru melimpahkannya kepada peserta didik dalam hal ini siswa. Para guru kebanyakan mewajibkan kita untuk harus bisa dalam semua hal. Padahal setiap siswa memiliki kesukaan dan keinginan masing-masing. Mereka sebenarnya bisa saja dipaksa untuk bisa mendapatkan nilai-nilai yang tinggi. Tapi dengan demikian mereka akan merasa jenuh dan sangat tertekan. Pada akhirnya para siswa tidak dididik dengan konsep berpendapat secara analitis kritis dan kooperatif, melainkan terpaku dan kaku pada sistem dan buku pelajaran. Padahal sistem pendidikan di negeri kita tercinta ini mengacu pada sistem pendidikan pada tahun 1900an. Sungguh tidak relevan dan tidak pantas untuk zaman milenium seperti sekarang ini.
Umpamakan ada sebuah kotak. Siswa yang bisa untuk menerima suatu ilmu dengan sistem sekarang ini masuk kedalam kelompok dan berada di dalam kotak tersebut. Tetapi untuk lainnya yang tidak bisa dengan sistem sekarang akan merasa stress dan tidak dapat menerima suatu ilmu dengan baik. Akan terasa menyakitkan bagi mereka apabila harus dipaksakan masuk ke dalam kelompok yang berada di dalam kotak tersebut.
Mengacu dengan buku pelajaran pun sebenarnya bukanlah hal yang tepat. Karena untuk mempelajari dan memahami buku pelajaran tidak harus sampai 3 atau 6 tahun, melainkan hanya 3 bulan sampai 1 tahun pada setiap jenjang. Ini tergantung dari kecepatan pemahaman dan pemikiran siswa masing-masing. Pemahaman yang berbeda-beda bukanlah menjadi suatu masalah, karena setiap masing-masing manusia perseorangan memiliki cara belajar dan pemahaman sendiri-sendiri. Yang lebih penting dari buku pelajaran adalah pembangunan karakter seseorang. Pembangunan karakter ini bisa lebih lama daripada hanya mempelajari buku pelajaran. Inilah yang harus ditekankan dan ditanamkan oleh guru-guru kepada siswa. Pernah suatu saat Ayah Edi berbicara mengenai hal ini di suatu radio ternama. Di Australia para guru tidak menekankan anak didiknya untuk belajar mengitung, tetapi mereka lebih ditekankan untuk pembangunan karakter, contohnya mengantri, menyebrang jalan, menolong orang lain. Mereka berkata bahwa sangat sulit untuk menanamkan dan membangun karakter-karakter yang baik kepada anak didiknya dibandingkan dengan mengajari mereka berhitung.
Di sekolah formal, banyak sekali terjadi yang namanya bullying baik fisik maupun mental. MOS atau Masa Orientasi Siswa seharusnya menjadi suatu ajang pengenalan siswa baru oleh para guru serta kakak kelas. Tetapi dalam konteks sekarang ini, MOS menjadi suatu ajang pembalasan dendam kakak kelas terhadap adik kelasnya karena sang senior pernah juga disakiti fisik dan mentalnya. Sang senior berdalih bahwa hal ini adalah agar adik kelas siap untuk menghadapi kerasnya perjuangan belajar di sekolah dan mendidik agar menjadi orang yang tegas. Padahal sesungguhnya adik kelas pasti akan merasa down apabila diberikan shock teraphy dengan "kekerasan" seperti itu. Dan guru-guru sepertinya tidak menanggapi hal itu dengan serius. Mereka juga berdalih dengan alasan yang sama dengan sang senior. Juga dengan LDKS atau Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa. Seharusnya ini menjadi tempat siswa untuk menempa ilmu untuk menjadi pemimpin yang baik, sekalipun nantinya hanya akan menjadi pemimpin keluarga. Tetapi sama saja dengan MOS, "kekerasan" tetap terjadi. Misalnya, disuruh membuat tanda nama yang menurut para siswa sangat sulit untuk dilakukan dalam waktu 3 hari. Dan apabila terjadi kesalahan, hukuman-hukuman yang sebenarnya tidak mendidik justru malah diberikan oleh para senior, seperti menceburkan diri ke dalam lumpur. Apakah ada hubungannya tanda nama yang salah dengan menceburkan diri ke dalam lumpur? Apakah cara mendidik harus dengan "kekerasan" agar siswa menjadi orang yang mandiri dan bertanggungjawab terhadap dirinya? Tentu tidak bukan. Pasti pihak-pihak yang merasa dirugikan, terutama orang tua siswa akan tidak terima dengan hal ini. Tetapi malah ada orang tua "bodoh" yang terima saja anaknya diperlakukan sangat "kejam" oleh para senior dengan dalih yang sama dengan senior maupun para guru. Sungguh hal yang sangat mengerikan sekali.
Sekolah Non Formal dalam hal ini homeschooling adalah suatu pilihan untuk orang-orang yang tidak berada di dalam kotak tersebut, seperti yang telah disebutkan di atas. Dan homechooling dapat dijadikan alternatif untuk mereka yang merasa jenuh dengan cara belajar di sekolah formal dan bukan berarti hanya dijadikan pelarian. Cara belajar di homeschooling juga tidak seperti sekolah formal yang lebih menonjolkan dan mengacu pada nilai. Yang lebih dipentingkan adalah hasil karya siswa seperti esai, pendapat atau argumen, diskusi, portofolio bahkan bisa berupa lagu ataupun hasil kerajian tangan dan lain sebagainya. Ini yang membuat siswa lebih kreatif untuk membuat suatu karya cipta daripada harus mengejar nilai untuk sebuah kata-kata yang sangat berharga buat mereka yaitu "KELULUSAN". Seharusnya pula nilai dalam hal ini Ujian Nasional tidak menjadi acuan untuk kelulusan seseorang. Ujian Nasional bisa menjadi evaluasi bagi para siswa dan guru agar dapat menjadi lebih baik untuk kedepannya. Karena sudah banyak sekali korban dari Ujian Nasional. Misalnya, siswa yang biasa-biasa saja bisa mendapatkan nilai yang tinggi sedangkan siswa yang memiliki prestasi bagus dalam kesehariannya mendapatkan nilai yang anjlok. Sangat miris sekali, tapi inilah realita. Seahrusnya yang bisa menentukan lulus atau tidaknya tergantung dari keseharian para siswa. Jadi setiap sekolah formal atau homeschooling mempunyai independensi untuk bisa menentukan lulus atau tidaknya seorang siswa. Tetapi sistem yang seperti ini juga harus mempunyai suatu badan yang memayungi dan mengawasi pergerakan setiap lembaga belajar. Ini untuk meminimalisir kecurangan-kecurangan yang dapat mungkin terjadi, misalnya lulus dengan jalur uang. Belajar di homeschooling juga lebih mengedepankan pembangunan karakter, minat, bakat dan konsistensi seorang siswa. Sebelum masuk kepada pembelajaran, para homeschoolers akan diberikan pengenalan tentang homeschooling selama satu bulan. Di satu bulan pertama itu lebih banyak pembangunan karakter dan treatment atau brain storming bagi para homeschoolers yang pernah merasakan menjadi pelajar di sekolah formal atau pernah memiliki masalah sebelumnya, misalnya bullying. Apakah treatment atau brain storming itu? Kedua istilah ini mempunyai maksud bahwa homeschoolers akan dipacu kerja otak yang kreatif dan diasah kembali cara berfikirnya agar mereka bisa mengikuti homeschooling yang sesungguhnya sehingga ketika mereka membahas sesuatu dengan komperhensif dan mendalam. Di homeschooling juga ditekankan untuk mengenal, memahami, dan mempraktekkan suatu disiplin ilmu yang diminati dan dibutuhkan. Masing-masing pun memiliki minat, bakat dan tingkat konsistensi yang berbeda-beda. Jadi setiap homeschoolers pun berbeda-beda penanganannya, tergantung dari beberapa hal di atas. Pendidik di homeschooling dalam hal ini tutor adalah orang yang dipilih secara selektif, ahli dalam bidangnya, memiliki cara fikir yang visioner, mampu mehamami dan mengerti cara untuk menangani setiap homeschoolers. Jadi homeschoolers lebih mudah menerima suatu disiplin ilmu tanpa harus merasakan stress atau jenuh yang berlebihan. Bukannya memojokkan dan menyalahkan sekolah formal hanya saja kelebihan yang disediakan sekolah formal sangat sedikit. Misalnya kita lebih banyak mengenal dan dapat bersosialisasi dengan teman-teman, belajar disiplin karena diwajibkan untuk masuk pada jam 06.30, dapat menampung banyak peserta didik dan lain-lain. Tetapi para siswa kebanyakan selalu tertekan dan tidak merasakan kenikmatan belajar. Di homeschooling pun juga tidak sempurna. Terkadang para homeschoolers kesulitan untuk bersosialisasi karena jarang bertemu dengan teman-temannya. Tetapi ini tidak menjadi persoalan yang serius apabila homeschoolers memiliki teman, relasi atau apaupun itu di luar sekolah. Jadi untuk saat ini pilihan untuk homeschooling adalah pilihan yang lebih baik karena para siswa lebih fokus terhadap apa yang diiniginkan dan di butuhkan serta tidak tertekan dengan penilaian dengan angka-angka "sesat".
Semoga pembicaraan presiden kepada menteri pendidikan yang baru akan direalisasikan dan menjadi suatu sistem pendidikan di negeri yang sekali lagi sangat kita cintai ini. Beliau dalam hal ini presiden berkata dan berpesan bahwa penanaman karakter harus dikedepankan dalam sistem pendidikan negeri ini. Tentunya sangat diharapkan sekali agar sistem pendidikan harus segera diubah sehingga seluruh siswa yang ada di Indonesia tidak menjadi generalis melainkan spesialis di bidangnya masing-masing. Lebih cepat lebih baik, karena pada tahun 2010 akan dimulai percobaan pasar bebas di seluruh dunia. Para pemuda dan pemudi Indonesia harus berjuang menghadapi orang-orang asing. Akankah mereka menjadi tuan di negerinya sendiri? Anda bisa menjawabnya.?
Cukup sekian untuk esai yang mungkin terlampau panjang ini. Mohon maaf apabila ada kekurangan terutama bahasa yang saya gunakan terlalu berputar-putar. Terimakasih banyak kepada yang ingin meluangkan waktunya untuk membaca esai ini.
============================================
Di tulis oleh Nurrahman Andrianto, seorang pelajar SMA yang kini memilih untuk home schooling untuk bisa memetakan ulang potensi unggul yang dimilikinya yang sebelumnya telah tenggelam bersama tugas-tugas sekolah yang tiada habisnya dan tak jelas apa manfaatnya baginya di kehidupan kelak.
Mari kita renungkan pesan-pesan berharga yang terkandung di dalamnya.
Sumber: Ayah Edy
0 comments to “KEGUNDAHAN HATI SEORANG PELAJAR AKAN DUNIA PENDIDIKAN DI NEGERINYA”