Para orang tua dan guru yang saya cintai dimanapun anda berada; masih ingatkah Tragedi Tsunami yang pernah melanda negara-negara di asia mulai dari India, Srilanka, Thailand dan Aceh, negeri kita sendiri..?
Tidak diragukan lagi bahwa bencana itu sedemikian dasyatnya hingga menelan korban yang jumlahnya juga luar biasa dahsyat. Namun dibalik itu semua ternyata ada suatu cerita menarik dari rekan-rekan yang bekerja untuk penanggulangan bencana pasca Tsunami di Asia.
Sebelum masa rehabilitasi daerah-daerah yang terkena bencana tersebut, Teman-teman tersebut sempat mengadakan wawancara terhadap beberapa negara yang dilanda bencana Tsunami terparah; diantaranya India, Thailand dan Indonesia.
Pertanyaan yang diajukan sangatlah sederhana; dan pertanyaan ini sengaja diajukan pada korban yang terutama berasal dari anak-anak. Pertanyaannya adalah lebih kurang seperti ini; What do you expected me to do...? atau Apa yang paling anda harapkan dari kami untuk dilakukan saat ini...?
Sebagian besar anak-anak di India menjawabnya seperti ini; Kami ingin rumah-rumah dan sekolah-sekolah kami segera dibangun agar kami dapat segera beraktifitas kembali seperti dulu.
Sedangkan anak-anak dari Thailand sebagian besar menjawabnya begini; Kami ingin segera sekolah-sekolah kami dibangun dan fasilitas wisata segera diperbaiki agar kami dapat segera sekolah dan berjualan lagi disana.
Sementara sebagian besar anak-anak Indonesia menjawabnya seperti ini; Kami ingin diberi uang agar kami bisa membeli bahan-bahan makanan dan membangun rumah kami yang hancur...
Sekilas 3 jawaban anak-anak dari ketiga negara tersebut tidaklah terlalu jauh berbeda; namun bila kita perhatikan dengan cermat; ada perbedaan dari cara berpikir antara anak-anak negara kita dengan negara tetangga kita; yakni bahwa anak-anak kita lebih mengharapkan bantuan itu berupa ikannya dalam bentuk tunai langsung, sedangkan anak-anak di negara tetangga lebih mengharapkan bantuan dalam bentuk kail (perbaikan kembali fasilitas yang hancur) agar mereka bisa kembali segera mencari ikannya sendiri;
Jika kita cermati anak-anak dinegara tetangga kita itu ternyata jauh lebih matang cara berpikirnya, mereka tidak ingin menjadi anak-anak peminta yang selalu dikasihani melainkan ingin berusaha mandiri dan segera terbebas dari ketergantungan bantuan negara lain.
Saya jadi bertanya-tanya bagaimana negara tetangga kita itu bisa berhasil menanamkan pemikiran yang begitu luar biasa melalui sistem pendidikannya hingga dalam usia mereka yang relatif dini telah bisa berpikir sehebat itu. Saya juga jadi merenung, jika seandainya saja kita bisa melakukan hal yang sama pada anak-anak dinegeri kita; mungkin kita akan segera menjadi bangsa yang jauh lebih mandiri dan tidak selalu tergantung pada bantuan dan campur tangan negara-negara asing.
Tapi mungkin memang jika kita kaji, salah satunya kita memiliki budaya kasihan/memberi yang tidak mendidik dan kurang pada tempatnya, sehingga anak dan remaja kita menjadi terbiasa untuk hidup mudah/instant mendapatkan sesuatu tanpa mau bekerja keras secara terhormat. Mari kita perhatikan fenomena sosial yang ada di sekitar kita, semakin banyak saja anak-anak dan remaja yang menjadi “setengah mengemis dan setengah memaksa” dengan aksi penjaga parkir di ATM-ATM, Parkir di setiap wFulang makan, dan pengatur lalu lintas di perempatan , dan sebagainya. Hampir tidak ada tempat yang terbebas dari pungutan liar yang pelakunya sudah merambah ke kalangan remaja dan anak-anak.
Kita boleh saja menyangkal fenomena sosial ini, tapi coba bandingkan dengan negara tetangga dan negara-negara maju, maka kita tidak akan temukan budaya semacam ini. Anak-anak sejak kecil sudah dibiasakan untuk bersifat kritis dan mau bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu. Lalu bagaimana dengan cara mendidik anak-anak kita dirumah..?
Tidak ada yang akan mengubah nasib suatu bangsa kecuali dia berusaha sendiri untuk mengubahnya.
Mari kita renungkan bersama...
Sumber: Ayah Edy
0 comments to “KISAH MENARIK DIBALIK TSUNAMI DI ASIA”