Para orang tua yang berbahagia...., suatu ketika saya berkesempatan untuk menemani seorang teman turis asing untuk berjalan-jalan keliling kota Jakarta. Sebenarnya kegiatan ini adalah salah satu hobi dan kesenangan saya, ya untuk mengajak tamu asing jalan-jalan mengunjungi tempat-tempat menarik di seputar Jakarta. Apa lagi tamu asing kami ini baru pertamakali menginjakkan kakinya di Indonesia.
Sebelum memulai perjalanan dengan bangganya saya menceritakan segala kebaikan yang kami miliki sebagai bangsa, betapa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bangsa yang terkenal ramah dan santun serta sangat penuh tenggang rasa. Dalam obrolan-obrolan kami saat minum teh bersama saya selalu saja menceritakan dengan bangga akan sagala sisi baik bangsa ini.
Dan sepertinya tamu saya yang kebetulan berasal dari negeri Eropa Barat ini begitu terkesan mendengar cerita saya dan sepertinya dia semakin tak sabar untuk segera memulai perjalanan ke tampat-tempat yang saya ceritakan tadi.
Sampailah pada hari yang di tunggu-tunggu saya dengan penuh semangat menjemput teman sekaligus tamu saya ini ke hotel tempat dia menginap di bilangan Jalan Sudirman.
Ternyata dia sudah menunggu saya di lobby, dan segera saja saya mengajak saya untuk naik bersama dengan mobil yang saya kendarai.
Perjalanan pertama saya adalah mengajak dia mengujungi pusat ibu kota di sekitar jalan Thamrin dan Sudirman...dengan sasaran akhir di Tugu Monas, sambil mengendarai mobil kami saling berbincang, namun tiba-tiba saja dari kiri dan kanan saya menyalip dua mobil yang sepertinya sedang kejar-kejaran di jalan protokol tersebut.
Kawan saya dengan terkaget-kaget milhat kejadian tersebut sambil bertanya... “apakah kita tidak sedang berada dijalan yang salah...?” oh tidak kita ada di jalur yang benar...jawab saya dengan penuh keyakinan, “oh tapi mengapa kita seperti sedang ada di sirkuit balap.” Oh... saya baru sadar maksud dari pertanyaannya.
Akhir supaya tidak lagi bertemu dengan orang yang kebut-kebutan di jalan protokol saya coba menghindarinya dengan masuk jalan yang lebih kecil. Namun ternyata pada saat kami sedang asyik-asyiknya mengobrol tiba-tiba ada sebuah Bajaj yang melintas dari sisi sebelah kiri memotong mobil kami untuk berputar balik arah ke sebelah kanan.
Jelas saja tamu asing saya ini menjadi kaget luar biasa dan hampir lompat dari tempat duduknya...
Kira-kira jam 10 pagi Akhirnya, sampailah kami di Tugu Monas, tugu tertinggi kebanggaan bangsa Indonesia, . Baru saja kami sempat berjalan-jalan sejenak, lalu tamu asing saya mulai bertanya lagi...? Apakah disini tidak disediakan tempat sampah..? Wah dengan gelagapan dan sambil berusaha menenangkan diri saya jawab, oh iya sepertinya cukup banyak disediakan... saya mulai bisa membaca arah petanyaan ini, karena saya mulai melihat banyak botol-botol bekas minuman dan plastik-plastik bekas makanan ringan berserakan di taman dan tugu kebanggaan orang Jakarta ini. Dan tampaknya hal ini agak mengganggu pemandangan terutama pemandangan sang tamu asing saya ini.
Supaya perhatian teralihkan akhirnya saya menceritakan sejarah apa, mengapa dan bagaimana tugu ini dulu dibangun. Hingga akhirnya iapun terbawa pada obrolan seputar tugu monas tersebut.
Lalu kami memutuskan untuk naik kepuncak monas, karena hari ini adalah hari libur besar sepertinya pengunjungnya lebih banyak dari pada hari libur biasa, dan untuk itu kami terpaksa harus mengantri dengan antrian yang cukup panjang untuk bisa mendapatkan karcis. Namun kembali saat kami sedang asyik-asyiknya mengantri tiba-tiba kami melihat ada orang yang berusaha menyerobot antrian dari sisi kiri dan kanan, dan sepertinya petugasnya tidak terlalu ambil perduli, hingga terjadilah antrian yang mulai saling serobot.
Aduh kepala saya jadi mulai pening melihat pemandangan ini, bukan pening karena mengantri tapi pening untuk menemukan jawaban yang masuk akal apa bila tiba-tiba saja saya di tanya oleh tamu asing saya ini. Tapi untung saja dia tidak bertanya melainkan hanya mengeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali melihat kejadian ini. Dan untuk menyeimbangkan suasana sayapun segera ikut menggeleng-gelengkan kepala saya bersamanya.
Setelah selesai berkeliling akhirnya kami sepakat untuk melanjutkan perjalanan berikutnya menuju wilayah Jakarta utara tempat terdapatnya museum bahari dan pelabuhan klasik sunda kelapa.
Dalam perjalanan menuju ke sana sepertinya tamu asing saya ini sudah mulai agak jarang menunjukan kekagetannya atas ulah para pengendara di jalan raya, dan sepertinya ia juga mulai terbiasa dengan mobil-mobil yang tiba-tiba menyalip dari kiri dengan kencangnya.
Namun kali ini ia hampir berteriak manakala melihat pengendara motor yang menyalip tipis di depan mobil kami dan terus merangsak meskipun dalam keadaan sempit dan lalulintas padat....
Kawan saya ini spontan berteriak-teriak mengkhawatirkan keselamatan para pengendara motor tersebut.. Sambil masih memegangi jantungnya, tamu asing saya ini bartanya pada saya apakah para pengendara tersebut adalah orang-orang biasa atau memang mereka ini pemain sirkus...?
Lalu saya katakan mereka mungkin orang biasa yang dulunya adalah pemain sirkus. dengan maksud untuk bergurau. Namun kali ini tamu saya terbingung-bingung dengan jawaban saya...,Lalu dia bertanya lagi... apakah cara mereka berkendara seperti itu tidak di larang oleh polisi...? Wah kali ini saya jadi bertambah bingung harus menjawab apa....? Jadi saya katakan saja ya mestinya di larang... tapi mungkin polisinya sedang tidak ada... atau bertugas di tempat lain.... Supaya pembicaraan tidak panjang, akhirnya saya segera alihkan dengan bercerita tentang sejarah sunda kelapa dan museum baharinya. Meskipun di sela-sela cerita, tamu saya ini sesekali masih tetap berteriak apa bila ada motor yang melintas memotong di depan mobil kami bak seorang permain sirkus yang sedang menguji nyawanya.
Sesampainya di sana, tidak ada tempat parkir resmi yang disediakan, jadi kami akhirnya berputar-putar area untuk melihat-lihat sambil berjalan pelan. Sampai di sebuah perempatan tiba-tiba tamu saya bertanya lagi, siapa mereka itu yang meminta-minta uang di perempatan. Oh iya, saya katakan itu orang-orang yang membantu agar kita tidak terjebak macet di perempatan, Lalu tamu saya berkata ”tapi jika mereka membantu kita, mengapa meminta uang...? dan mengapa juga masih tetap macet begini..? Waduh bingung juga saya menjawabnya.... akhirnya saya kahabisan akal untuk menjawab dan saya katakan saja bahwa saya juga bingung seperti dia. Dan jadilah kami dua orang yang kebingungan di dalam mobil.
Sampailah kami pada pelataran parkir dan memarkirkan mobil kami disana, untuk masuk berjalan-jalan melihat area pelabuhan. Sambil masih tetap bersemangat dan untuk mengurangi rasa malu saya terhadap tamu saya akan apa yang terjadi di sepanjang perjalanan kami menuju tempat ini. Segera saya menceritakan perahu-perahu tradisional yang dengan beraninya mengFulangi lautan nusantara dan masih menjadi alat tranportasi masyarakat kepulauan yang cukup vital hingga akhirnya kami berdua pun asyik dengan pembicaraan ini.
Setelah puas berkeliling akhirnya kami memutuskan untuk pergi melanjutkan perjalanan, namun ketika kami kembali ke tempat mobil kami di parkir ternyata ada mobil yang sedang parkir sembarangan, persis dalam posisi memblokir habis, mobil kami sehingga tidak bisa keluar. Celakanya lagi mobil ini sepertinya terkunci dan menggunakan rem tangan.
Tentu saja sebelum rekan saya bertanya lagi dan sebelum saya dibuat pening untuk mencari jawabannya, saya cepat meredam suasana dengan berkata kepada tamu saya “tenang semuanya akan beres dan segera bisa saya atasi.“, lalu dengan sigap dan cekatan saya berusaha untuk bertanya kesana-sini mencari si pemilik mobil tersebut. Namun malangnya setelah lima belas menit berputar-putar bertanya kesana kemari ternyata saya tidak juga berhasil menemukan si pemiliknya, sehinga dengan sangat terpaksa kami berdua harus menunggu hingga pemiliknya datang. Hampir satu jam kami menunggu barulah si pemiliknya terlihat datang dan dengan santainya pergi tanpa sedikitpun merasa bersalah apalagi meminta maaf untuk sekedar mengurangi perasaan kesal dan marah yang sedang kami tahan berdua.
Wah kejadian ini sungguh sangat memukul perasaan saya yang hari itu sedang membawa Tamu Asing saya untuk saya ajak melihat sudut-sudut indah negeri yang saya banggakan ini. Saya merasa mendapat pukulan “Knock Out”, hingga tidak bisa berkata-kata lagi, habis sudah semangat saya untuk menceritakan segala kebaikan tentang negeri ini, sungguh hancur hati saya melihat kanyataan bahwa pada akhirnya ternyata saya tidak berhasil membuktikan ucapan saya akan ramah dan santunnya bangsa ini di hadapan tamu yang sangat saya hormati ini. Dan yang lebih membuat hati saya hancur adalah bahwa setelah kejadian ini tampaknya tamu saya mulai kehilangan selera untuk saya ajak melanjutkan perjalanan dan saya khawatir dia juga mulai kehilangan kepercayaan pada sebagian atau mungkin seluruh cerita-cirita saya tentang potret indah bangsa Indonesia.
Akhirnya dari sana kami memutuskan untuk kembali ke hotel, karena tamu saya mengatakan ingin beristirahat dan menenangkan pikiran setelah hampir setengah hari berjalan-jalan bersama saya...
Sungguh saya merasa malu dan hampir putus asa dengan apa yang baru saja saya alami, namun ketika tiba di rumah dan bertemu dengan anak-anak tercinta saya, harapan yang hampir lenyap itu tiba-tiba kembali tumbuh berkobar, dalam bathin saya berpikir sepertinya saya akan masih punya kesempatan untuk membangun budaya bangsa Indonesia yang bermartabat, paling tidak melalui anak-anak saya tercinta. Meskipun ini perlu sebuah perjuangan panjang. Saya tidak peduli paling tidak masih ada secercah harapan untuk bangsa ini dimasa mendatang melalui anak-anak tercinta saya di rumah.
Semoga kisah ini bisa menjadi cermin dan pelajaran bagi kita semua, untuk bisa membangun budaya bangsa yang bermartabat melalui anak-anak kita tercinta. Jika kita mau saya yakin kita pasti bisa.!
Mari kita bangun budaya bangsa yang bermartabat melalui anak-anak kita tercinta, kalau bukan kita siapa lagi dan kalau bukan sekarang kapan lagi.?!
Sumber: Ayah Edy
0 comments to “MEMBANGUN BUDAYA BANGSA YANG BERMARTABAT SEJAK USIA DINI”