Subscribe RSS

Namanya pendek, terdiri atas 6 huruf saja: Muslim. Bila mengacu kepada bahasa Arab, nama itu bisa berarti orang yang tunduk. Nama tersebut bisa pula berarti orang yang berserah diri. Kepada siapa? Tentu saja kepada Alloh –Subhanahu Wa Ta’ala-. Hampir 40 tahun sudah dia menekuni fisika. Dia tidak peduli dengan resiko yang menimpanya sebagai akibat ketekunannya itu. Dia betul-betul telah menyerahkan sebagian otoritas dirinya pada fisika.


Kecintaan Pak Muslim pada fisika sudah mulai terlihat sejak dia duduk di bangku sekolah menengah. "Dari SMP sampai SMA, nilai fisika saya selalu 10," ungkap laki-laki kelahiran Yogyakarta, 7 Mei 1941 ini. Tidak heran bila Pak Muslim memilih kuliah di Jurusan Fisika Fakultas MIPA UGM setelah dia menyelesaikan pendidikan SMA-nya di SMA 3 Yogyakarta. Panggilan hidup untuk terus menekuni fisika akhirnya membuat Pak Muslim mengajar di almamaternya sejak tahun 1965.
Setelah menekuni fisika, Pak Muslim menjadi terkesan dengan fisika nuklir. Dia pun memfokuskan perhatiannya pada fisika nuklir. Begitu fokusnya dia pada fisika nuklir, sehingga untuk memperoleh gelar Ph.D di Universitas Purdue, dia melakukan penelitian tentang three body problems in nuclear structure. Setelah puas meneliti tentang struktur nuklir, Pak Muslim mulai meneliti untuk kepentingan bioteknologi. "Sekarang, penelitian saya lebih berkembang ke spektrometer foto akustik," ungkap peraih penghargaan Indonesian Senior Scientist dari Dewan Riset Nasional tahun 1994 ini.
Fisika sepertinya telah menjadi darah-daging Pak Muslim. Dalam melihat krisis yang mendera bangsa Indonesia saat ini, Pak Muslim juga menggunakan prinsip-prinsip fisika. Menurutnya, sedikitnya ada 3 paradigma yang patut dipakai untuk menyelesaikan krisis di Indonesia, yaitu: simetri, optimasi dan unifikasi. "Dengan ketiganya kita bisa membongkar rahasia alam, mendokumentasikan dan mempelajari hukum-hukum alam yang pada gilirannya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia," ujar laki-laki yang memperoleh jabatan guru besar fisika UGM tahun 1996 ini.
Pak Muslim sendiri kepada Kabar UGM mengakui bahwa sebenarnya dia berminat terhadap semua fisika, mulai dari fisika dasar, fisika laser, fisika matematika, hingga fisika pendidikan. Karena itu, dia bisa mengajar segala macam fisika. Tetapi, di Fakultas MIPA UGM, dia mengajar fisika dasar, mekanika kuantum dan teori relativitas. Ini terjadi karena, menurutnya, "Mahasiswa baru harus diajar oleh dosen yang memiliki jam terbang yang tinggi. Dosen seperti ini akan mampu menjawab semua rasa ingin tahu mahasiswa baru. Selain itu, akan mampu meningkatkan motivasi belajar mereka."
Disamping di Program S1, Pak Muslim juga mengajar fisika di Program Pascasarjana UGM. Di sini, dia juga membimbing mahasiswa menulis tesis dan disertasi. Ketika membimbing mahasiswa, Pak Muslim tidak segan membagi pengalaman dan ilmunya kepada para mahasiswa.
Dia bahkan menyediakan fasilitas penunjang penelitian buat mahasiswa pasacasarjana, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. "Fasilitas ini saya kembangkan dengan menyisihkan uang-uang proyek penelitian," ungkap Pak Muslim. Bagi Pak Muslim, memajukan fisika mendatangkan kepuasan intelektual dan emosional. Karena itu, dia bersedia berkorban apa saja. Dia yakin betul bahwa pengorbanannya itu tidak akan sia-sia.
Berkat fisika, Pak Muslim memperoleh beberapa penghargaan dan jabatan bergengsi. Sedikitnya dia telah menerima 3 penghargaan penting selama dia menekuni fisika. Paling tidak dia menjadi anggota 3 organisasi peminat fisika, mulai dari tingkat nasional hingga internasional. Berkat fisika juga dia bisa menjalani hidup akademiknya dengan tenang dan penuh percaya diri. Dia memiliki istri yang lebih dulu mendalami tentang nuklir.
Dia punya waktu yang banyak untuk memajukan fisika. "Istri saya sekarang mengambil S2 agama. Dia sering membawa buku-buku agama. Ini memotivasi saya," kata Pak Muslim. Untuk mengisi waktu luang, Pak Muslim membaca buku-buku sastra. Membaca buku sastra ini malah termasuk hobinya. "Sewaktu kuliah, uang beli buku, 50 %-nya saya belikan buku-buku fisika dan 50 % sisanya buat beli buku sastra," kata Pak Muslim.
Dua tahun lagi Pak Muslim pensiun dari pegawai negeri. Kalau sudah pensiun kelak, dia tidak takut kehilangan pekerjaan. Dia yakin, pekerjaan yang berkaitan dengan fisika, mulai meneliti, mengajar dan membimbing akan selalu menunggunya. Yang dia khawatirkan justru kondisi pendidikan di Indonesia saat ini. "Saya prihatin dengan kondisi pendidikan di Indonesia," kata Pak Muslim sedih.
Pak Muslim lantas bercerita tentang pendidikan di Malaysia. "Malaysia punya planning pendidikan yang bagus. Mereka juga punya dana pendidikan yang lumayan besar," sambung anggota Senat Akademik UGM ini.
Penilaian Pak Muslim ini tentu saja bukan penilaian asal. Sebab, Pak Muslim dan Bu Zahara pernah mengajar di Universitas Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur selama 3 setengah tahun. Melihat beberapa mahasiswanya di Malaysia jadi Professor, Pak Muslim sangat senang. Kegembiraan seolah datang bertangkai-tangkai padanya. "Terakhir kali ke Malaysia, saya bangga melihat bekas mahasiswa saya di sana telah banyak yang menjadi guru besar."

Photobucket

0 comments to “Muslim”

Note: only a member of this blog may post a comment.