Aku tahu aku berbeda dari anak-anak lain dan aku amat membencinya. Ketika aku mulai bersekolah, teman-teman selalu mengejekku maka aku semakin tahu perbedaan diriku. Aku dilahirkan dengan cacat. Langit-langit mulutku terbelah.
Ya, aku adalah seorang gadis kecil dengan bibir sumbing, hidung bengkok, gigi yang tidak rata. Bila berbicara, suaraku sumbang, sengau dan kacau bahkan aku, tidak bisa meniup balon bila tidak kupejet hidungku erat-erat.
Jika aku minum menggunakan sedotan, air akan mengucur begitu saja lewat hidungku. Bila ada teman sekolahku bertanya, “Bibirmu itu kenapa…?” Aku katakan bahwa ketika bayi aku terjatuh dan sebilah pecahan beling telah membelah bibirku.
Sepertinya aku lebih suka alasan ini daripada mengatakan bahwa aku cacat semenjak lahir. Saat berusia tujuh tahun, aku yakin tidak ada orang selain keluargaku yang mencintai aku. Bahkan tidak ada yang mau menyukaiku.
Saat itu aku naik ke kelas dua dan bertemu dengan Ummy/Ibu Guru. Aku tidak tahu apa nama lengkapnya. Beliau berparas bundar, cantik dan selalu harum. Tangannya gemuk. Rambutnya coklat keperakan.
Matanya hitam lembut yang senantiasa tampak tersenyum meski bibirnya tidak. Setiap anak menyukainya. Tetapi tidak ada yang mencintainya, lebih daripada aku dan aku punya alasan tersendiri untuk itu.
Pada suatu ketika, sekolah melakukan tes kemampuan pendengaran yaitu mendengar kata yang dibisikkan dengan satu telinga, ditutup bergantian. Terus terang sulit bagiku untuk mendengar suara-suara dengan satu telinga.
Tidak ada orang yang tahu akan cacatku yang satu ini. Aku tidak mau gagal pada tes ini, lalu menjadi satu-satunya anak dengan segala cacat di sekujur tubuhnya.
Maka aku mencari akal untuk menyusun rencana curang (padahal ini adalah dosa besar di sisi Alloh). Aku perhatikan setiap murid yang dites. Tes berlangsung demikian. Setiap murid diminta berjalan ke pintu kelas, membalikkan tubuh, menutup satu telinganya dengan jari, kemudian ibu guru akan membisikkan sesuatu dari mejanya tulisnya. Lalu murid diminta untuk mengulangi perkataan ibu guru.
Hal yang sama dilakukan pada telinga yang satunya. Aku menyadari ternyata tidak ada seorang pun yang mengawasi, apakah telinga itu ditutup dengan rapat atau tidak. Kalau begitu aku akan berpura-pura saja menutup telingaku.
Selain itu aku tahu dari cerita murid-murid yang lain, ibu guru biasanya membisikkan kata-kata seperti, “Langit itu biru” atau “Apakah kau punya sepatu baru…?”
Kini tiba pada giliran terakhir, giliranku. Aku berjalan ke luar kelas, membalikkan tubuh lalu menutup telingaku yang cacat itu dengan kuat tetapi kemudian perlahan-lahan merenggangkannya sehingga aku bisa mendengar kata-kata yang dibisikkan oleh ibu guru.
Aku menunggu dengan berdebar-debar kata-kata apa yang akan dibisikkan oleh Ummy. Dan Ummy, ibu guru yang cantik dan harum, ibu guru yang aku cintai itu, membisikkan tujuh buah kata, yang telah mengubah hidupku selamanya. Ia berbisik dengan lembut, “Maukah kau jadi puteriku, wahai gadis manis?”
Tanpa sadar aku berbalik, berlari, memeluk Ummy erat-erat dan membiarkan seluruh air mataku tumpah di tubuhnya.
(Sumber: Wallohu a’lam)
0 comments to “7 Rentetan Kata”