Subscribe RSS

By: Nur Rifkah (Siswi SMA Negeri 9 Makassar)

Pagi hari di kelas yang sangat sempit dengan angin yang bertiup sepoi-sepoi dari daun jendela yang terbuka lebar. Seorang murid baru berwajah polos dan senyum manisnya masuk di kelasku. Seragam putih bersih dengan rok merah yang cerah. Ia pun hadir dihadapan 29 orang siswa ditemani kepala sekolah yang memakai seragam hijau. Sisiran rambut ke depan dan selalu terlihat rapih, sebut saja Pak Taha’. Pak Taha’ memperkenalkan siswi baru tadi.

Dengan sangat malu-malu, ia berkata, ia menyebutkan namanya, “Fulanah”, itu katanya sambil menengok wajah Ibu Guru. Setelah memperkenalkan diri, Pak Taha’ kemudian menunjuk tempat dudukku yang saat itu aku memang tidak punya teman sebangku. Saat ia memperkenalkan dirinya, ku tak mendengarkan dengan jelas karena aku sibuk menulis soal yang ditulis Ibu Marhamati di papan tulis hitam dengan bertuliskan kapur putih. Sehingga aku ingin sekali bertanya-tanya. Seperti pepatah yang mengatakan bahwa “tak kenal maka tak sayang:. Apalagi ia teman sebangkuku.

“Teng, teng, teng, teng!!!”

Dan akhirnya lonceng tanda keluar main berbunyi. Saat itulah yang sangat kutunggu-tunggu sedari tadi. Ia masih terdiam di sampingku. Di saat semua siswa kelas 3 SD berlarian keluar untuk bermain dan beristirahat, tinggallah aku dan Fulanah di kelas itu. Aku bingung harus bagaimana, aku memutuskan untuk tetap duduk di sampingnya dan melontarkan satu pertanyaan yang sebenarnya aku sudah tau jawabannya sebagai awal perkenalan,

“Siapa namamu?” kataku dengan malu.

“Fulanah! Nama kamu siapa?” jawabnya.

Aku pun menjawab, “Aku Rifkah boleh dipanggil Ika!”

Pertanyaan demi pertanyaan kami rangkai sehingga keakraban pun muncul. Aku mengajaknya mengelilingi sekolah, memperkenalkan tempat-tempat dan sarana-sarana yang ada di sekolahku. Dalam kondisi yang sangat tidak nyaman, Fulanah ingin sekali diperlihatkan kamar mandi atau biasa disebut WC. Tapi setelah kuperlihatkan, dia sedikitpun tidak merasakan hal yang kurasakan. Padahal, WC itu sangat bau dan tidak terurus sama sekali. Apalagi tak ada satupun lampu yang menerangi ruangan itu.

Tiba saatnya lonceng berbunyi pertanda kita harus berkumpul di kelas untuk melanjutkan pelajaran. Bagaikan burung yang terbang dengan riang dan kicauan yang terdengar sangat merdu. Nah, seperti itulah yang kurasakan saat itu. Bagiku punya teman sebangku seperti dia adalah sebuah kebanggaan karena melihat opini teman-teman. Fulanah itu orangnya pendiam dan hanya bisa akrab denganku saja. Banyak teman yang ingin sekali berteman dengannya. Namun, Fulanah sulit bergaul dengan mereka. Aku merasa akulah yang terbaik baginya. Yachh…. Begitulah yang kurasakan.

Siang hari, sepulang sekolah. Aku diajak berkunjung ke rumahnya. Sesampaiku di sana, aku termenung. Rumahnya sangat indah, bagaikan istana. Besar namun sederhana. Aku merasa tidak pantas untuk menginjakkan kakiku ke dalam rumahnya. Ternyata dia anak orang kaya. Tetapi, saat ia ganti pakaian, aku berpikir semuanya berbanding terbalik. Ia keluar dari rumah dengan baju yang kusam dan celana yang penuh jahitan bekas robek.

“Kenapa pakaiannya tak sebanding dengan rumah yang ditinggalnya!” kataku dalam hati.

Namun, aku tetap berpikir positif. Mungkin ini cuma kebetulan.

Hmm… bisa dibilang rumahku dan rumah Fulanah sangat dekat. Jadi, sore hati kita selalu bermain bersama-sama. Semenjak itu aku semakin jarang tinggal di rumah. Padi di sekolah, sore bermain di rumah Fulanah, malam mengaji. Setiap waktu kujalani bersama. Ia juga sudah menjadi santri di masjid tempatku mengaji. Jadi, dimana-mana pasti kita bersama. Tapi, hanya satu yang selalu membuatku bingung. Rumahnya besar, mobilnya 3, pembantunya banyak, namun pakaian yang dikenakannya tiap hari sangat tidak layak untuk orang kaya seperti dia.

Aku ingin sekali bertanya, berbagai pertanyaan terbesik di pikiranku. Aku takut yang ku ucapkan dapat memunculkan kemarahan. Aku takut apa yang kupertanyakan dapat memisahkanku dengannya. Aku takut kehilangan seorang sahabat seperti dia. Jadi, aku berusaha untuk terus menjaga omonganku.

Sebab itu, aku sering diam. Kadang aku tidak menjawab pertanyaannya. Sampai-sampai ia marah dan pindah ke bangku kosong tepat di belakangku. Gara-gara masalah yang sepele itu, kami tak berkomunikasi selama seminggu. Aku tak tahu apa yang ia pikirkan tentangku. Aku berusaha meminta maaf. Namun, pintu maaf tak kunjung datang. Entah sampai kapan kita harus begini. Di sekolah tak ada lagi yang menemaniku jajan, sore tak ada lagi permainan, dan di saat waktu mengaji ia jarang pergi. Aku merasa sangat bersalah.

Aku kesepian tanpanya, “Ya Alloh, kapan ini berakhir!”

Sampai akhirnya satu masalah pun muncul, sahabatku itu dipanggil oleh kepala sekolah. Ternyata ia menunggak uang SPP selama 3 bulan. Aku semakin bingung dengan berbagai fasilitas yang ada di rumahnya tak sebanding dengan apa yang telah terjadi saat ini. Aku rasa ini semua tidak masuk akal. Aku ingin sekali membantunya. Tapi, saat itu akupun dalam keadaan pas-pasan.

Aku sedih melihat dia seperti ini. Aku melihat dia penuh beban. Aku ingin sekali ia membagi bebannya denganku agar bebannya itu tidak terlalu berat. Tapi bagaimana caranya? Dia tidak mau lagi melihatku saat ku lewat dihadapannya, apalagi kalau aku menghapirinya dan bertanya ada apa… Pasti dia mengabaikanku. Dalam keadaan seperti ini, semestinya aku berada di dekatnya karena aku sahabatnya.

Ini yang pertama, maksudku ini masalah pertama yang datang menghampiri persahabatanku. Aku tahu ini hanyala bumbu-bumbu persahabatan, kalau tidak ada masalah pasti kita akan membosan. Dan setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Jadi, aku akan mencari jalan keluarnya.

Dengan terpaksa Fulanah pulang dengan perasaan yang sedih dengan mimik wajah yang cemberut dan ia menunduk sambil berjalan menuju ke pintu keluar sekolah. Aku merasa masalahnya adalah masalahku juga. Dan saat itu pula aku rela untuk bolos. Aku mengikutinya sedari tadi hingga sampailah di rumah Fulanah. Ia berbalik untuk menutup pagar, tanpa sengaja ia melihatku dan menghampiriku. Aku yang sedang bersembunyi di semak-semak sekitar pohon-pohon di depan rumahnya.

Saat itulah Fulanah akhirnya berbicara, “Kenapako?”

Dengan senyum labarku dan rasa malu-malu aku menjawab,

“Eh, Fulanah… tidakji, tidak apa-apa!”

Walaupun sedikit memalukan, aku sudah sangat senang setelah lama tak berkomunikasi. Kita dipertemukan Alloh di depan rumahnya. Dengan mukanya yang kusut dan sedikit membuncit, ia pun menjelaskan semuanya. Begini katanya,

“Dulu sejak usia 5 tahun, aku sudah ditiggalkan orang tuaku. Saat itu aku harus beradaptasi dengan lingkunganku. Apalagi, aku dulunya bukan orang Indonesia. Aku orang Malaysia. Aku lahir di sana. Bahasa orang Malaysia adalah bahasa Melayu dan itu berbeda dengan bahasa Indonesia. Tapi, aku berusaha untuk tahu karena aku akan tinggal di sini untuk selama-lamanya.”

Ternyata rumah yang selama ini aku lihat, buka miliknya. Ia ditinggal orang tuanya. Dan ia dititip di rumah itu.

“Hmm… apa yang kupikir selama ini ternyata betul!” dalam hatiku.

Meskipun dia masih kecil, tapi ai sudah cukup tegar menghadapi hidupnya yang penuh penderitaan. Memang lingkungan yang menciptakan mental kokoh yang dimilikinya itu. Sudah lama aku berteman, tapi baru kali ini ia cerita lebih dalam tentang dirinya, kesehariannya, dan berbagai kejadian yang terjadi di rumahnya itu. Fulanah bercerita sambil meneteskan air mata. Aku sangat terharu mendengarnya, ternyata saya sangat beruntung masih bisa hidup bersama keluarga.

Fulanah juga bercerita sejak usia 3 tahun, orang tuanya bercerai. Entah masalah apa yang menyebabkan perpisahan menjadi jalan terbaiknya. Setelah lama bercerai, Ibunya kebingungan mencari kerja. Mereka serba kekurangan. Untuk makan satu hari saja, tidak mampu dicarinya. Berbagai cara ia lakukan demi mempertahankan hidupnya.

Waktu dikampung, di depan rumah Fulanah ada rumah yang besar dan mewah. Hanya ada satu rumah yang dibuat dari batu, yang ada cuma rumah kayu dan gubuk. Tetangganya itu sangat baik. Kadang-kadang Fulanah dibawakan makanan, uang, ataupun baju.

Suatu saat Ibu Fulanah mau pergi, entah kemana. Fulanah dititip di rumah tetangganya itu. Kata Ibunya, dia “Cepat kembali”. Tapi apa yang terjadi? Ibunya tak pernah kembali, Ibunya pergi tanpa kabar sedikitpun. Dia meninggalkan anaknya yang masih kecil itu. Yang seharusnya diberi kasih sayang dan diberi didikan.

Di usianya yang masih tergolong anak balita. Ia mau tidak mau harus ikut dengan tetangganya itu. Sekarang ia tinggal bersama seorang nenek (tetangganya) yang tidak sedikitpun berhubungan darah dengannya. Tapi untunglah, nenek itu sangat baik dan dermawan. Nenek itu tak pernah berpikir bahwa Fulanah bukan siapa-siapanya, ia tetap baik terhadap Fulanah dan tak pernah sedikitpun bersikap kasar pada Fulanah. Fulanah sudah dianggapnya akan sendiri. Nenek itulah yang merawat Fulanah sampai sekarang ini.

Nenek itu sendiri memiliki 12 anak. Semuanya berhasil. Tak ada satupun anaknya yang tinggal bersamanya. Bahkan 7 diantaranya sudah tinggal di luar negeri. Mereka semua memang tak tinggal bersama orang tuanya namun mereka tak pernah melupakan orang yang mendidiknya sejak kecil. Tiap bulan, si nenek dikirimkan uang dari ke-12 anaknya. Dia tak perlu susah-susah mencari uang. Setiap bulan uang sudah tersedia di bank, bahkan si nenek bingung mau dikemanakan uangnya. Meskipun suaminya sudah meninggal, tapi dia tidak sengsara seperti Fulanah, malah berkelimpahan uang.

Fulanah memang beruntung tinggal bersama si nenek itu. Dia tidak pernah lagi kekurangan uang, bahkan dia bisa beli apa saja yang ia mau. Setelah berusia 6 tahun, Fulanah di sekolahkan. Dan itulah, impian Fulanah sejak kecil. Dari kecil ia ingin sekali bersekolah dan impian itu tercapai. Dengan diantar oleh nenek, ia pun memulai pelajarannya. Ia sangat berantusias mengikuti kegiatan belajar-mengajar itu. Sampai-sampai pagi-pagi sekali ia sudah bangun untuk bersiap-siap ke sekolah.

Kelas 2 SD tengah semester, nenek itu sakit-sakitan. Ia sering berobat ke rumah sakit terdekat, tapi tak kunjung sembuh. Nenek yang sudah rentan dan keriput itu perlu perawatan, ia harus dirawat. Ia tak bisa lagi berdiri tanpa dibantu orang lain. Terpaksa naik kelas 3, Fulanah harus pindah sekolah, kenapa harus pindah sekolah???

Kerena nenek harus dirawat secara intensif. Kebetulah ada naka menantunya seorang dokter, jadi jika ada apa-apa nenek bisa langsung diperiksa. Nachh… maka dari itu, nenek harus tinggal di rumah anaknya itu, mau tidak mau Fulanah harus ikut. Yang jadi masalah sekarang, Fulanah tidak tahu berbahasa Indonesia. Walaupun bahasa Indonesia dan bahasa melayu hanya berbeda sedikit, tapi Fulanah harus beradaptasi. Selama satu bulan, ia berusaha untuk bisa berbicara bahasa Indonesia dan akhirnya ia memberanikan diri untuk masuk di sekolah barunya. Di sekolah itu pula tepatnya kelas 3 SD awal pertemuan kami, awal dari persahabatanku dengan Fulanah.

Namun kepindahannya itu merupakan malapetaka bagi Fulanah karena anak dari nenek itu sangat jahat. Tak seperti Ibunya yang baik sekali. Anaknya itu bernama Bu Mia. Selama di rumah Bu Mia, Fulanah tidak pernah lagi bisa bebas seperti dulu. Mau ini tinggal bilang, mau makan ini tinggal panggil, dan jika sakit ada yang merawat. Sekarang keadaannya berbeda. Bu Mia sering memaksa Fulanah untuk kerja. Dia tidak pernah mau melihat Fulanah bersantai atau beristirahat. Fulanah dipaksa untuk menyapu, mencuci, mengepel, sampai memasak makanan. Bu Mia yang dulu punya pembantu sekarang pembantunya sudah dipecat. Dia berpikir ada Fulanah yang bisa bekerja. Sungguh malang nasip Fulanah, masih berusia 6 tahun, ia harus bekerja seperti layaknya pembantu. Tapi Fulanah pintar mengatur waktunya sedemikian rupa sehingga ia masih bisa sekolah, mengaji, dan bermain.

Setiap pulang sekolah, Fulanah harus menyapu seluruh bagian rumah yang sangat besar sampai di kebun dan terasnya. Setelah itu, ia harus mencuci baju dan mencuci piring. Sore hari setelah bermain, ia harus mengepel seluruh ruangan di rumah itu. Malam hari setelah pulang mengaji, dia harus membuat makanan-makanan yang harus disantap untuk makan malam. Semua itu dilakukan hanya untuk hidup dan bisa makan. Belum lagi jika Bu Mia marah-marah, Fulanah harus mengulangi pekerjaan itu lagi. Fulanah memang anak yang tegar. Walau hidup sendiri, tapi dia tetap bahagia dengan apa yang dia miliki. Ia kadang ingin meminta bantuan pada nenek, tapi apa adanya, nenek hanya bisa terbaring di tempat tidur.

Karena Fulanah tidak bekerja akibat sakit, maka uang sekolah Fulanah tidak dibayar selama 3 bulan. Sebab itu, Fulanah dipanggil oleh kepala sekolah dan ia pulang ke rumah dan mengadu pada nenek bahwa uang SPP belum dibayar. Akhirnya nenek meminta Fulanah untuk mencari uang di bawah baju di dalam lemari. Kebetulan Bu Mia tidak ada di rumah karena pergi beli obat untuk nenek. Jadi, Fulanah bisa baya uang SPP dan masuk belajar kembali.

Walaupun hidupnya yang sangat susah itu, Fulanah tidak pernah memperlihatkan wajah sedihnya. Dia tetap cerah, ia juga sering menolong teman semampu dia. Dia wanita yang sangat tegar.

Setelah lulus SD, kami berpisah. Kita sekolah di tempat yang berbeda. Kita tak bersama lagi. Namun, perpisahan itu tidak bisa memisahkan persahabatan kami. Malahan persahabatan kami makin erat karena hampir tiap hari Fulanah datang ke rumahku. Ia sering mengunjungiku untuk bermain atau belajar bersama. Saat itulah keluargaku sangat mengenal Fulanah, orang tuakupun sudah menganggapnya seperti anaknya sendiri.

Sampai suatu ketika, Fulanah melihat adikku disuapi oleh ibuku. Tiba-tiba air mata Fulanah menetes. Ia menangis, aku yakin ia merindukan ibunya. Setelah meneteskan air mata, Fulanah pun lari dan masuk ke kamarku. Aku mendekatinya dan memeluknya. Dengan muka yang sedih dan terus meneteskan air mata, ia pun menjelaskan apa yang ia rasakan,

“Kenapa aku tidak bisa mendapatkan kasih sayang? Mendapatkan kasih sayang dari orangtua, dari Ibu, dari Bapak! Kenapa aku harus begini? Sampai kapan aku harus menderita seperti ini? Kemana Ibuku? Kemana dia? Kenapa dia tega meninggalkanku sendirian seperti ini? Apakah ini memang takdirku? Tapi kenapa harus aku? Kenapa? Kenapa?? Rifkah!!! ” katanya sambil menangis dan berteriak.

Aku hanya bisa diam mendengarnya. Aku tidak tahu mau bilang apa. Aku sangat sedih melihat kepedihannya. Aku bingung. Namun, Fulanah terus bertanya-tanya. Dengan pandangan ke lantai dan memukul-mukuli lantai, ia pun kembali bertanya kepadaku,

“Kenapa Ibu setega itu? Aku ingin Ibu datang untuk melihatku. Aku ingin Ibu memelukku. Aku ingin Ibu menyapaku. Kemana kau Ibu? Sudah 10 tahun Ibu meninggalkanku tanpa kabar. Walaupun begitu, akau akan selalu mencintaimu Ibu. Aku sangan kamu Ibu!”

Aku yang sedari tadi berada di sampingnya secara spontan menangis. Aku terharu. Aku bisa merasakan apa yang dirasakan Fulanah saat itu. Aku juga sedih. Tapi jujur dia adalah wanita yang tegar. Aku suka ketegarannya itu. Dia memang wanita yang kuat. Walaupun telah diabaikan oleh ibunya bertahun-tahun, Fulanah tetap sayang pada Ibunya. Fulanah sangat menyayangi Ibunya. Ia ingin ibunya itu datang dan membawanya pergi dari rumah itu. Setelah lama menangis, kita berdua tertidur di tempat tidur. Sampai akhirnya kita bangun dan kembali cerita.

Dia sama sekali tidak lagi memperlihatkan wajah sedihnya. Dan kembali bermain dan bercanda.

Bertahun-tahun sudah ia bersamaku. Setelah lulus SMP, ayahnya datang. Ini adalah hal yang sejak dulu ditunggu Fulanah. Fulanah sangat senang. Akhirnya ia mendapatkan kebahagiaan yang sudah lama ditunggu-tunggunya. Walau bukan ibunya, tapi setidaknya sudah ada anggota keluarga yang masih menyayanginya. Ia tak pernah menyangka kalau akhirnya ayahnya datang.

Ayahnya membawa pergi Fulanah. Sekarang Fulanah sekolah di Palopo ikut bersama ayahnya. Tapi dia tidak melupakan sahabatnya yang berada di Makassar. Ia selalu berkunjung ke Makassar tiap liburan. Ia juga tak melupakan nenek yang pernah merawatnya. Ia tetap mengunjungi neneknya di temani oleh ayahnya. Nenek itulah yang pernah merawatnya.

Alhamdulillah, Alloh membukakan pintu kebahagiaan bagi sahabatku Fulanah. Setelah beberapa tahun di sana, nenek sakit parah. Nenek lebih dekap pada Fulanah. Sehingga nenek ingin sekali bertemu Fulanah saat itu. Kebetulan saat itu Fulanah liburan. Jadi, Fulanah datang kembali ke Makassar untuk tinggal bersama neneknya lagi. Beberapa hari setelah itu, nenek membaik. Fulanah pun punya waktu untuk bersenang-senang denganku. Tapi di saat Fulanah gembira, kabar buruk pun datang.

Nenek yang sudah berusia lanjut itu harus dibawa ke rumah sakit karena penyakitnya kembali kambuh. Ketika itu, Fulanah bercerita lewat SMS, kalau neneknya itu sering bertingkah aneh, kadang neneknya itu ingin tidur di kamar mandi. Setiap kali ingin diberi obat, nenek itu bertanya-tanya bagaimana cara memakan obat itu sambil memperlihatkan wajah yang ketakutan. Padahal obat itu sudah biasa dia makan, bahkan tiap hari dia harus makan obat itu. Entah apa yang membuatnya seperti itu.

Tepat hari ke-6 di rumah sakit, Fulanah memberiku kabar lewat SMS kalau neneknya sudah meninggal. Aku kaget dan cukup sedih. Tapi, Fulanah tidak terlihat begitu sedih karena seminggu sebelum kematiannya. Ia sudah diberitahukan dokter kalau hidupnya tinggal menghitung hari. Jadi, Fulanah sudah mempersiapkan betul-betul mentalnya menghadapi apa yang akan terjadi.

Sebelum meninggal, nenek sempat memberikan cincinnya kepada Fulanah. Cincin itu sangat cantik, cincin itu pemberian dari suami neneknya. Tapi, diwariskan kepada Fulanah. Karena nenek sangat sayang kepada Fulanah. Kemudian pada saat dimandikan jenazahnya oleh Fulanah, Fulanah bercerita bahwa wajah dan seluruh area wudhu atau seluruh tubuh yang dikenai air wudhu pun bercahanya. Saat jenazahnya pun diangkat, terasa ringan. Subhanalloh.

Kepergiannya akan selalu dikenang. Wajah Fulanah yang minggu lalu ceriah, sekarang berubah. Senyum lebarnya berumah menjadi cemberut. Mau bagaimanapun semua sudah terjadi, mungkin ini jalan terbaiknya.

Beberapa hari setelah kematian neneknya, ia pun harus pulang ke Palopo untuk melanjutkan sekolahnya. Apa yang ditemuinya selama di Makassar membuatnya semakin mengingat bahwa tidak ada yang abadi di bumi ini.

(Fulanah: Nama Samaran)

0 comments to “SAHABATKU TELAH PERGI”

Note: only a member of this blog may post a comment.