Menjadi bagian dari keluarga broken home memang bukan sesuatu yang menyenangkan. Seringkali diriku merasa iri saat melihat ada sahabat yang bercakap via telpon dengan ayah dan ibunya secara bergantian. Barangkali hal itu masih bisa kulakukan andai saja kedua orang tuaku masih ada. Tapi Ibu, semenjak bercerai dengan ayah, tak pernah lagi menetap di rumah. Sedangkan ayah, orang yang menjadi harapanku satu-satunya telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa saat diriku masih duduk di bangku SMA.
Sungguh, aku seperti kehilangan jati diri beberapa saat setelah ayahku meninggal. Semangat belajarku tiba-tiba menurun. Hal ini tentu saja berdampak pada penurunan prestasi belajarku. Waktu itu aku terlalu banyak berfikir negatif. Ada ketakutan yang menyelimuti diriku saat tulang punggung keluargaku tiada. Siapa yang akan mencukupi kebutuhanku? Kakak-kakakku? Tak mungkin, sebab mereka juga masih kesulitan untuk mencukupi kehidupannya sendiri.
Dengan segala keterbatasan yang ada, aku terus berusaha untuk bisa lulus SMA. Ada sedikit semangat belajar yang luntur karena pesimisme yang sempat merongrong diriku. Sempat terfikir dalam hatiku—buat apa nilai yang bagus toh tak ada yang membiayaiku melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi. Tetapi untunglah, semangat itu muncul kembali di saat-saat terakhirku sekolah. Ada semacam kekuatan yang memunculkan optimisme dalam diriku.
Optimisme itu akhirnya membawaku ke petualangan seru tak terlupakan. Petualangan itu dimulai beberapa saat setelah hasil SPMB diumumkan. Aku diterima di salah satu Perguruan Tinggi di Jawa Tengah. Aku—yang saat itu berdomisili di Cirebon—hanya memiliki uang 33 ribu saja. Tak ada lagi yang bisa kumintai uang untuk biaya pendaftaran dan segala macamnya yang totalnya hampir mencapai 2 jutaan. Namun dengan berbekal keyakinan (atau kenekatan ya?), aku pun memberanikan diri berangkat ke Semarang dengan uang yang kumiliki.
Sudah bisa ditebak. Dengan uang sejumlah itu, aku bisa sampai ke kampus tujuanku tapi dengan uang yang habis tak tersisa. Selama kurang lebih 3 hari 3 malam aku menginap di masjid tanpa ada makanan yang masuk ke perut. Selama 3 hari itulah aku berusaha untuk membangun kepercayaan dengan orang-orang yang sering kutemui. Alhamdulillah, ternyata banyak orang yang menaruh kepercayaan kepadaku. Tidak segan-segan beberapa orang meminjamiku uang untuk pembayaran daftar ulang dan SPP. Aku pun mencoba mendekati seorang dosen yang kuharapkan bisa membatuku. Aku menawarkan diri sanggup bekerja sebagai apa saja asalkan halal. Rupanya keyakinanku tidak sia-sia. Aku dipercaya bekerja paruh waktu di perusahaan milik sang dosen. Ah, leganya. Kebutuhan hidup dan biaya kuliah tidak lagi menjadi beban yang berarti. Hutang-hutangku pada orang-orang yang mempercayaiku pun terbayarkan tepat waktu.
(Sepenggal kisah dari seorang rekan kerja yang berhasil lulus kuliah dengan biaya sendiri)
(By: Sastroedy)
0 comments to “Sepenggal Kisah (Lulus Kuliah dengan Biaya Sendiri)”